Opini puitis dari jemari salah seorang ulama’ sebuah
pesantren salaf yang menyaksikan sendiri kemudian
diilustrasikan dalam sebuah instrumen tersajikan
dimedia sosial facebook “Badut Jumat”
Tapi di baliknya, wajah yang sesungguhnya
tersembunyi. Mungkin basah oleh peluh, mungkin
menahan perih yang tak bisa dibagikan kepada siapa
pun.
Siang itu, seusai Jumatan di Masjid Jami Pasuruan,
al-Anwar, saya terhenti di perempatan lampu merah.
Matahari menebar terik. Di antara deretan kendaraan
yang menunggu giliran, ada sosok dengan topeng
badut. Ia berjalan gontai, tangannya melambai ke
pengendara. Sebuah senyum palsu menempel di
wajahnya—bukan miliknya, melainkan milik topeng.
Saya berpikir, bagaimana rasanya hidup di balik
senyum yang bukan kepunyaan kita? Apakah di
baliknya ada kepedihan, kelelahan, atau sekadar
keengganan untuk menjelaskan sesuatu yang orang
lain tak perlu tau? Kita semua, pada titik tertentu,
pernah menjadi badut. Mengenakan senyum yang
tidak benar-benar kita rasakan. Menghibur orang lain
sementara diri sendiri berjalan gontai dalam terik.
Di balik topeng itu, bisa jadi ada perut yang belum
terisi, pikiran yang sibuk menghitung uang receh, atau
sekadar harapan kecil bahwa lampu merah bertahan
lebih lama. Tapi hidup tak selalu bisa menunggu lampu
hijau. Ia terus berjalan, seakan memaksa kita tetap
melangkah meskipun beban di pundak semakin berat.
Mungkin orang itu tidak ingin dikasihani.
Mungkin ia hanya ingin bertahan. Mungkin kita semua, pada
saat-saat tertentu, hanya ingin diakui keberadaannya
meskipun dengan topeng yang tidak pernah benarbenar mewakili siapa kita sebenarnya.
Itulah ratapan yang terlampiaskan pada sebuah opini.
Link: “https://www.facebook.com/share/1FDEKFVKbk
/”
by Bahrul Ulum