Mencari yang Harum

Mencari yang Harum

Di tengah derasnya arus media sosial, kadang kita bukan sedang membaca pikiran orang—tapi menghirup bau busuk yang mereka muntahkan. Nafsu yang diludahkan jadi status, dendam yang disulap jadi komentar, iri yang dicetak jadi meme. Dan kita—entah sadar atau tidak—menjadi saksi, kadang korban, kadang pelaku.

Tapi Anda memilih menepi. Bukan karena suci. Bukan karena merasa lebih baik. Justru karena tahu, sudah cukup buruk diri ini. Dan tak ingin menjadi lebih buruk lagi.

Itu bukan kesombongan. Itu penyelamatan.

Memblokir bukan berarti benci. Kadang itu bentuk cinta—pada kesehatan batin sendiri. Menghapus bukan berarti takut berbeda pendapat, tapi takut kehilangan kendali. Kita tidak ingin kemarahan orang lain menjadi amarah kita. Kita tidak ingin luka orang lain dipindahkan ke dalam dada kita.

Kita ini bejana yang mudah tumpah. Dan media sosial, celakanya, sering menjadi tangan yang mengguncang.

Maka ketika Anda berkata, “Saya hanya mematuk kebaikan yang berserak dari orang baik yang kebetulan saya temui,” itu bukan sekadar sikap. Itu semacam zikir. Sebuah ikhtiar kecil untuk tetap mencium yang harum, meski dunia makin penuh busuk.

Karena siapa tahu, dengan terus menghirup wangi kebaikan orang lain, pelan-pelan kita pun ikut harum. Dan siapa tahu, satu hari nanti, kita bisa menyebarkan aroma itu—meski sedikit. Meski hanya untuk satu orang. Āmīn.

by Bahrul Ulum

Bagikan:

Tags

Baca Juga