Sapi dan Saintis Palsu

Sapi dan Saintis Palsu

Ada masa ketika seekor sapi lebih bijak daripada sekelompok manusia.

Kita tahu kisahnya. Bani Israil diperintah untuk menyembelih sapi, bukan untuk makan, tapi untuk mencari keadilan. Aneh memang. Tapi yang memberi perintah bukan manusia biasa. Ia seorang nabi, pembawa mukjizat. Musa, yang tongkatnya bisa membelah laut dan menelan ular.

Namun mereka—kaum yang konon telah melihat laut merah terbelah di depan mata—masih bertanya: “Kenapa sapi? Kenapa bukan cara ilmiah?” Mereka memperdebatkan warna sapi, umur sapi, dan bentuk sapi. Bukannya taat, mereka malah mencibir. Sebab menurut mereka, hukum sebab-akibat lebih penting dari wahyu.

Mereka lupa: mukjizat tidak tunduk pada rumus. Dan nabi bukan asisten laboratorium.

Ironisnya, hari ini, kita punya versi baru dari kaum itu. Bukan dari Bani Israil, tapi dari orang-orang yang mengaku Islam. Mereka bicara dengan logika setengah jadi, lalu menertawakan ulama. Mereka memamerkan saintisme, padahal membaca tabel periodik pun tak bisa. Mereka tertawa saat mendengar istilah karamah, lalu merasa lebih rasional karena pernah membaca tiga buku self-help dan dua artikel clickbait tentang otak kiri.

Mereka lupa: bukan logika yang kita lawan, tapi kesombongan yang menyamar sebagai logika.

Ilmu pengetahuan memang mulia. Tapi bukan untuk menyombongkan diri dan meremehkan warisan nubuwah. Karena ilmu, jika benar, akan mengantar pada adab. Dan jika tidak, hanya akan melahirkan generasi nggedabrus: mulutnya petantang-petenteng, otaknya kosong, jiwanya kehilangan rasa gentar pada hal yang sakral.

Bani Israil gagal bukan karena mereka bodoh. Tapi karena mereka terlalu merasa pintar. Dan itulah kebodohan paling telanjang.

by Bahrul Ulum

Bagikan:

Tags

Baca Juga